Cerpen Geger D Praha
Ayah
Aku, anak laki-laki berusia tiga tahun yang nyaman dalam gendongan Ibu. Dalam perjalanan dan selama aku berada dalam gendongan Ibu banyak hal yang yang ku lihat dan tersimpan dalam kepala ini. Suasana sore, pepohonan rindang dan perjalanan di halaman pekuburan, dengan udara lembab yang terhirup membuat banyak kenangan dalam pikiran ku. Hingga ku lihat seekor kucing kecil yang membuntuti kami dalam perjalanan. Wajah kucing yang mungil dan mirip sperti poster penyanyi kesukaan salah satu kakak laki-laki ku yang tinggal di kota Praya itu, ingin aku memiliki atau sekedar bermain dengan kucing itu, namun Ibu tidak mengizinkannya dan menakut-nakuti ku dengan Tu Selak, yang pada kenyataannya aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang ibu katakan. Tidak sedikit pun aku memiliki rasa takut karna aku tidak paham dengan Tu Selak yang Ibu katakan sebagai mahluk siluman yang sering berubah wujud karena keliru memilih dukun dan menjadi salah ilmu yang memang masih banyak pada daerah pinggiran pulau Lombok.
Karna takutnya ibu berjalan lebih cepan menghindari kucing hitam itu setelah jauh berjalan tidak lagi kucing itu mengikuti kami. Ibu lelah dan terduduk di gundukan tanah sambil menatap rembulan dengan cahaya kekuningan bersinar, sang purnama angkuh memancarkan sinarnya lalu seketika menjadi gelap karna kumpulan awan hitam menyelimuti. Mitos butakala yang memakan rembulan, warga desa masih mempercayayainya maka itu terdengan suara riuh tabuhan kentongan, ember, panci, baskom dan kaleng bagian dari warga desa yang percaya jika butakala akan cepat berlalu setelah mendengar suara tabuh-tabuhan.
Namun kali ini berbeda suara gaduh itu diikuti cacian, hujatan yang disertai rintihan anak gadis kecil yang berusaha meminta belas asih untuk ayahnya, obor dan lampu senter menyorot diiringi suara yang semakin keras dan mendekat pada kami. Di sadari suara itu adalah kedua kakak perempuan ku, merintih meminta ampun atas ayah. Bertubi-tubi pukulan mendarat pada tubuh ayah sontak air mata ibu menetes dikepala botak ku melihat ayah kami sudah menjadi mayat. Orang-orang desa sangat beringas rintihan gadis kecil itu tak sedikitpun dihiraukan atau pun didengar karna semua warga desa sudah menjadi anjing.
No comments:
Post a Comment